“TEORI PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA”

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).[1]

Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).[2] Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.

Seiring perkembangan zaman permasalahan di bidang hukumpun semakin hari semakin rumit dan kompleks. Khususnya lagi dalam hukum pidana yang mencita-citakan lahirnya sebuah kodifikasi baru pengganti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP saja) warisan kolonial yang telah terlalu jauh tertinggal oleh zaman. Patut dicatat, pembaharuan hukum pidana selalu menimbulkan pertentangan-pertentangan pendapat yang tidak hanya terjadi antara para ahli hukum saja melainkan juga melahirkan  pertentangan di tengah masyarakat. Pertentangan yang terjadi tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum pidana (penal reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan deliknya namun juga mencakup kebijakan criminal (criminal policy) yang merupakan persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya perkembangan/kecendrungan kejahatan (crime trend).

Hukum pidana yang domeinnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat kita lihat ialah bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap wacana penegasan ancaman pidana mati terhadap terhadap para koruptor.

Menurut Hegel Negara ialah realitas “Roh” atau kesadaran, yang menjawab pertentangan dalam masyarakat. Tanpa Negara pertentangan yang ada di dalam masyarakat tidak  dapat diselesaikan.[3] Maka menyikapi permasalahan dan pertentangan yang terjadi di dalam pembaharuan hukum pidana, Negaralah yang harus mengambil kebijakan guna mencegah terjadi pertentangan yang semakin meluas yang bukannya mendatangkan solusi  melainkan melahirkan debat kusir yang tak bermakna.

Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam domein hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana).

  1. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditetapkan masalah pokok dalam makalah  ini ialah :

  1. Bagaimanakah Tujuan Pemidanaan Indonesia ?
  2. Bagaimana teori hukum pidana dalam teori pemidanaan ?

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA

  1. Pengertian Pidana

Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Namun berkenaan dengan pembahasan saat ini penulis ingin memisahkan pengertian dari kedua istilah tersebut. Hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan  yang menderitakan atau suatu nestapa[4]. Dalam bahasa Belanda kedua-duanya diberi istilah yang sama, yaitu “Straf”.

Menurut Prof. Moelyatno istilah “hukuman” atau “straf” merupakan istilah konvensional. Istilah yang benar /inkonvensional untuk menggantikan “Straf”  adalah  “Pidana”. Hal tersebut sesuai dengan istilah “strafrecht” yang selama ini digunakan   sebagai terjemahan dari “Hukum pidana”. Dengan demikian, maka istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus yang dipakai dalam hukum pidana.

Kekhususan lain dari istilah pidana termasuk dalam hal bentuk atau jenis snksi/hukumannya, dimana sifat nestapa atau penderitaan lebih menonjol bila dibandingkan dengan bentuk hukuman yang dimiliki oleh aspek hukum lain. Bahkan  para  ahli hukum pidana ada yang mengatakan, bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi istimewa. Dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Yaitu suatu nestapa yang sifatnya mencelakakan/menderitakan yang sudah tentu membuat si terpidana menjadi tidak enak. Pidana tidak hanya tidak enak dirasakan pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang yang dikenai masih merasakan akibatnya yang berupa”cap” atau “label” atau “stigma” dari masyarakat.[5].

 

  1. Pengertian Sanksi Pidana.

Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.  Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.[6]

  1. Jenis-Jenis Sanksi Pidana.

Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu:

  1. Pidana Pokok
  1. Pidana mati
  2. Pidana Penjara
  3. Pidana Kurungan
  4. Pidana Tutupan
  5. Pidana Denda
  6. Pidana Tambahan
  1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
  2. Perampasan Barang Tertentu
  3. Pengumuman Putusan Hakim

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Tujuan Pemidanaan

Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori  tentang pemidanaan yang ada.

Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat  bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci.[7] Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana  para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.

Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.

Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.[8]

  1. Teori Pemidanaan

Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:

  1. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)

Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.

  1. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)

Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)

  1. Vereningings theorieen (teori gabungan)

Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.[9]

Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada prinsipnya  tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan  yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana :

  • Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
  • Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien),
  • Teori gabungan (verenigingstheorien).
  1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).

Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan teori ini lahir pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana — tidak boleh tidak — tanpa tawar-menawar.  Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.[10] Maka, pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan.

Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori ini, diantaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau. Dari banyak pendapat ahli tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang disampaikan Hegel mengenai argumennya terhadap hukuman bila dikolerasikan dengan teori absolut. Dimana hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding.[11] Hal ini memperlihatkan bahwa pembalasan (vergelding) diuraikan dengan nuansa dialektika sebagaimana pola Hegel berfilsafat.

Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara  yang bertujuan menderitakan penjahat akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan.[12]

  1. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).

Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi  terhadap teori absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman (nut van destraf).

Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.[13]

Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat pencegahan tidak usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca itu akan membatalkan niat jahatnya.[14] Selain dengan pemberian ancaman hukuman, prevensi umum (general preventie) juga dilakukan dengan cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi). Eksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan cara-cara yang kejam agar khalayak umum takut dan tidak melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh si penjahat.

Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan pemidanaan sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan. Salah satu kritikan yang paling mendasar dapat penulis perlihatkan berdasarkan pendapat Dewey yang menyatakan :

Banyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. Terkadang karena mereka mengalasakit jiwa ayau “feebleminded” — atau berbuat dibawah tekanan  emosi yang berat. Terkadang ancaman hukuman itu menjadikan mereka seolah-olah dibujuk. Banyak tahanan yang mengemukakan reaksi kejiwaaannya dikala proses dari pelanggaran undang-undang. Semua ini memperlihatkan bahwa sesunggyhnya hanya sedikit yang mempertimbangkan undang-undang penghukuman.[15]

Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si penjahat agar ia tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Van Hamel dalam hal ini menunjukkan bahwa prevensi khusus dari suatu pidana ialah :

  1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya.
  2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.
  • Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
  1. Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahnkan tertib hukum.[16]

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif, negara dalam kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan hukum dengan cara cara prenventif guna menegakkan tertib hukum dalam masyarakat.

  1. Teori gabungan (verenigingstheorien).

Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.

Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas.[17] Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui perpaduan logika dan hati yang terlahir dalam sebuah nurani.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori  tentang pemidanaan yang ada.

Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada prinsipnya  tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan  yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana :

  • Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
  • Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien),
  • Teori gabungan (verenigingstheorien).

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.Pradnya Paramita,  1985

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,

L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000

Darsono P, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media, Jakarta, 2006.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008

[1] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.

[2] L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hlm. 6.

[3] Darsono P, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 21.

[4]  Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi.Pradnya Paramita,  1985.

[5] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, 1986.

[6] J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987, h. 128, dalam Mahrus Ali,  Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008 h. 137.

[7] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.

[8] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 67.

[9] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta,

hal. 56.

[10] Prodjodikoro,Loc.Cit.

[11] Marpaung, Loc. Cit.

[12] Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 47.

[13] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 34.

[14] Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Loc. Cit.

[15] Sutherland & Cressey (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman dalam Perkembangan Hukum Pidana, Tarsito, Bandung, 1974, hlm. 62.

[16] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 36.

[17] Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hlm. 29.

Leave a comment